Pengolahan Sawah di Ensaid Panjang, Sintang

Indonesia sejak lama dikenal sebagai negara agraris, sebagian kehidupan masyarakatnya bergantung pada bidang pertanian (sebenarnya seluruh masyarakatnya). Bidang pertanian tentu saja bukan bidang yang asing bagi kita. Teknik pertanian pun semakin berkembang dari waktu ke waktu. Salah satu teknik pertanian yang paling penting adalah teknik mengolah tanah. Kenapa tanah? Tentu saja karena semua yang kita makan berawal dari tanah. Tapi, mari bicara lebih spesifik lagi. Mari kita bicara tentang sawah, sawah sangat penting karena hampir seluruh warga negara Indonesia memakan nasi sebagai makanan utamanya.

Dua cara paling umum yang digunakan petani di Indonesia dalam mengolah tanah sawah adalah dengan mencangkul dan membajak. Mencangkul adalah metode paling klasik yang digunakan oleh petani. Cara tradisional yang lebih modern adalah dengan menggunakan hewan ternak seperti kerbau atau sapi. Contoh paling terkenal adalah kerbau di Sumatera Barat, tanah minang dimana kerbau adalah bagian penting dari kebudayaan. Sedangkan sapi, jamak kita lihat atau dengar di Madura. Cara yang lebih modern adalah dengan menggunakan mesin traktor. Mesin traktor biasanya digunakan oleh petani yang sudah lebih maju dan memiliki  modal yang cukup.

Namun, ada cara pengolahan tanah yang cukup unik bagi saya saat berkunjung ke Ensaid Panjang, suatu desa di daerah Kabupaten Sintang yang memiliki sebuah rumah sepanjang 130 meter. Dalam mengolah tanah sawahnya, masyarakat desa Ensaid Panjang tidak menggunakan cangkul, hewan ternak apalagi traktor. Lebih tepatnya, mereka tidak menggunakan apa-apa. Bagaimana bisa?

Ya, mereka bisa melakukannya. Karena tanah yang mereka manfaatkan sebagai sawah adalah tanah yang lunak dan terus menerus terendam air dari bukit yang ada di desa mereka. Kegiatan pra penanaman padi dilakukan dengan pembersihan gulma yang tumbuh di sawah.

Gulma memang pada awalnya disemprot dengan herbisida, namun gulma yang telah mengering tidak di bakar oleh masyarakat. Tetapi di rundukkan dengan cara menggilasnya dengan batang kayu atau drum besar. Menurut salah satu kepala dusun di desa Ensaid Panjang, jika gulma dibakar, maka nutrisi yang ada disawah akan cepat habis karena terbawa air. Dengan penggilasan, nutrisi yang ada pada gulma akan lepas sedikit demi sedikit sehingga kesuburan tanah akan stabil dan relatif lebih lama. 

Setelah gulma digilas, lahan akan dibiarkan beberapa waktu hingga membusuk. Setalah itu bibit padi dapat langsung ditanam setelah membuat lubang tugalan. Namun, tidak seperti lahan pertanian di pulau Jawa atau Sumatra, praktek pertanian di Ensaid Panjang berlansung setahun sekali. Maksudnya, dalam setahun hanya satu kali panen.

Meskipun hanya sekali panen, hasil penen tersebut cukup untuk menghidupi satu keluarga selama setahun. Bahkan kadang masih ada yang bersisa. Hal ini dikarenakan hasil panen mereka hanya untuk konsumsi sendiri, tidak untuk dijual. Karena itu, pengolahan lahan sederhana seperti yang mereka lakukan dirasa cukup.

Ini adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di Ensaid Panjang. Cara pengelohan tanah seperti di Ensaid Panjang sedikit banyak turut berperan dalam perlindungan alam dan lingkungan. Semoga tetap lestari dan menjadi salah satu bentuk kekayaan budaya tradisional masyarakat Indonesia.


Post a Comment for "Pengolahan Sawah di Ensaid Panjang, Sintang"