Gunung Salak dalam Sains Modern

Jatuhnya Pesawat Sukhoi Superjet telah menambah daftar panjang korban jiwa di Gunung Salak. Kejadian ini bukan yang pertama kali, tercatat sudah beberapa pesawat jatuh di Gunung Salak, hingga gunung ini disebut sebagai jalur tengkorak. Tidak hanya dari udara, di rute darat pun Gunung Salak sudah banyak memakan korban. Terkait dengan hal-hal tersebut, berbagai pendapat terucap untuk mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya menyebabkan kejadian-kejadian yang memilukan bagi keluarga-keluarga korban. Pendapat yang paling sering kita dengar adalah tentang "Penunggu" Gunung Salak yang tidak kasat mata, termasuk jelmaan Prabu Siliwangi yang menurut kepercayaan penduduk setempat masih tinggal di Gunung Salak dalam wujud Macan. Lalu, bagaimana ilmu pengetahuan ,modern dapat menjelaskan kejadian-kejadian di Gunung Salak ini?

Gunung Salak adalah salah satu dari 7 gunung api vulkanik tipe A yang terdapat di Jawa Barat. Gunung api ini mempunyai beberapa puncak, di antaranya Puncak Salak I di ketinggian 2.211 m dpl, Salak II pada ketinggian 2.180 m dpl, dan Puncak Salak III atau dikenal juga dengan Puncak Sumbul dengan ketinggian 1.926 m dpl. Kondisi alam gunung ini terkenal beranomali dengan cepat. Cuaca yang semula cerah dapat berubah cepat menjadi ektrem dan berkabut. Tekanan angin dan udara di gunung tua ini kerap berubah-ubah. Sulit dideteksi dan tanpa bisa diprediksi sewaktu-waktu suhu di kawasan gunung ini melesat sangat tinggi.  Adanya tekanan suhu tiba-tiba mengakibatkan perubahan cuaca ekstrem yang menumbuhkan gumpalan awan konvektif di sekitar Gunung Salak. Ahli memperkirakan perubahan ektrem tekanan suhu udara yang kerap menyebabkan kabut  tebal yang menyelimuti Gunung Salak bersumber dari magma perut gunung ini. Sebagai penghasil panas bumi  yang cukup tinggi, maka kabut yang menyelimuti Gunung Salak cukup tebal.

Saat angin kencang bertiup mengarah ke pegunungan, udara mengalir dari puncak gunung akan menghasilkan turbulensi dalam bentuk gelombang saat mencapai sisi lain gunung. Proses ini sama seperti gelombang laut yang memecah pada sisi karang yang terendam. Turbulensi ini tidak dapat terlihat jelas. Pilot dapat mengantisipasi "gelombang gunung" saat mereka terbang di atas gunung. Para pilot seharusnya sudah paham dengan potensi bahaya ini. Saat kondisi pesawat aman dari gelombang gunung, ada peringatan lain yakni "gelombang awan" lenticular. Angin yang bertiup dari Laut Cina Selatan dan Samudra Indonesia dapat menimbulkan turbulensi di Gunung Salak.

Terkait dengan korban-korban kehilangan nyawanya saat mendaki Gunung Salak, banyak penjelasan yang dapat dijabarkan. Diantaranya adalah faktor geomorfologi, aktifitas vulkanik dan perubahan cuaca. Data dari jurnal lingkungan dan bencana geologi menyebutkan, bahwa aktivitas gas beracun dari Gunung Salak  biasanya berada di Kompleks Cikuluwung Putri atau Kawah Putri, yang terdiri dari Kawah Ratu, Kawah Hirup,  dan Kawah Paeh.  Aktivitasnya emisi gas vulkanik dengan komponen utama di kawasan itu adalah: H2O, CO2,  SO2, H2S, NH3, HCl, H2, N2, dan  O2+Ar. Gas karbon dioksida (CO2) adalah gas yang paling menonjol. Gas ini  tidak berwarna, tidak berbau, tak terbakar,  tidak reaktif. Pada konsentrasi tinggi CO2 menyebabkan koma dan kematian secara cepat . Sementara gas belerang dioksida (SO2) yang sering muncul di Kawah Ratu merupakan gas tidak berwarna,  bersifat asam, sangat mengiritasi alat penciuman. Sangat mengiritasi mata, tenggorokan dan saluran pernafasan, dapat menimbulkan pembengkakan celah suara, dan menyebabkan penyakit paru-paru kritis.

Kawasan Gunung Salak adalah tempat yang sering dikunjungi oleh para pecinta alam dan dijadikan sebagai area perkemahan dan tempat pendidikan bagi klub pencinta alam. Geomorfologi gunung Salak menjadikan aktifitas pendakian di gunung Salak cukup riskan. Gunung Salak sebagai vulkanik terbentuk sebagai hasil erupsi magma di masa lalu,  pembekuan lava di gunung Salak menghasilkan bentukan muka bumi dengan banyak patahan-patahan dan jurang-jurang yang dalam. Pada beberapa tempat, jurang ini tidak hanya beresiko dengan kedalamannya, tapi juga dengan kemungkinan terjadinya longsor. Hal inilah yang seringkali memakan korban dari para pendaki. Perubahan cuaca yang cepat dan diiringi dengan pembentukan kabut tebal di gunung Salak turut berperan dalam 'keangkeran gunung Salak'. Perubahan cuaca tersebut membuat kondisi tubuh pendaki yang kurang bugar menjadi lemah dan kehilangan konsentrasi, sementara kabut akan menghalangi pandangan, kombinasi dengan tebing-tebing serta jurang yang dalam akan sangat mengancam keselamatan pendaki.

Meskipun dapat kita pahami secara logika dan dalam kacamata ilmu pengetahuan, tidak berarti kita dapat memandang rendah kepercayaan masyarakat sekitar gunung Salak yang telah lama berinteraksi dengan gunung yang indah ini. Semuanya kembali kepada Yang Maha Pencipta. Satu hal yang penting adalah jangan sampai kita memandang diri terlalu tinggi diri kita sehingga melahirkan kesombongan yang dapat membawa kita kepada kecerobohan yang tidak perlu. Akhir kata, Semoga Artikel ini Bermanfaat.